Ubur-ubur merupakan hewan laut yang
masuk dalam filum Cnidaria. Filum dibagi menjadi lima kelas yaitu Staurozoa
(Stauromedusae); Scyphozoa (ubur-ubur sebenarnya); Hydrozoa (Portugis Man O
'War, karang api dan hidroid); Cubozoa (ubur-ubur kotak); dan Anthozoa (anemon
laut dan karang). Ubur-ubur memiliki tubuh berbentuk lonceng (payung) dengan
berbagai ukuran, dan jumlah tentakel yang berbeda dengan panjang mulai dari
beberapa millimeter hingga 40 meter tergantung pada spesiesnya. Warna ubur-ubur
mulai dari transparan hingga keputihan, kekuningan, ungu atau kebiruan[1].
Tentakel berisi dari beberapa ribu
hingga beberapa miliar nematosit. Nematosist merupakan panah kecil yang beracun
dan diinjeksikan ke kulit dalam waktu sepersekian detik. Nematosit tersebut dapat
berfungsi bahkan ketika dipisahkan atau jika organisme mati, meskipun
tingkatnya menurun setelah kematian. Kontak kulit dengan nematosit dapat
menyebabkan peradangan, iritasi menghasilkan rasa sakit, bengkak dan gatal,
serta berpotensi menyebabkan nekrosis kulit pada sengatan yang lebih parah.
Efek lokal racun ini disebabkan oleh
penetrasi benang dan aktivitas berbagai senyawa, seperti fosfolipase, sebagai
akibat eksositosis granul sel mast (dan, dengan demikian memungkinkan pelepasan
histamine/mediator nyeri). Racun ubur-ubur kabarnya juga mencakup hemolitik dan
fraksi mematikan. Fraksi mematikan mungkin berisi cardiotoxins, mampu
menghasilkan aritmia ventrikel dan serangan jantung, dan neurotoksin yang dapat
menyebabkan kegagalan pernapasan. Fraksi hemolitik intravaskular dapat juga
memicu gagal ginjal akut. Racun cnidaria 'juga imunogenik, mampu menghasilkan
respon antibodi[1].
Jenis ubur-ubur paling berbahaya
dikenal sebagai ubur-ubur kotak. Ukuran hewan ini bisa mencapai 1 meter dengan
tentakel sepanjang 3-4 meter. Racun yang dihasilkan ubur-ubur ini dengan cepat
menyerang jantung dan sistem saraf sehingga dapat membunuh manusia dalam
hitungan beberapa jam[1]. Jenis ubur-ubur inilah yang membunuh seorang
wisatawan perempuan dari Jerman, usia 20 tahun.
Beliau meninggal pada hari selasa 6
Oktober 2015 di sebuah pulau resor populer di Thailand setelah tersengat
ubur-ubur kotak saat berenang pada malam hari di pantai Koh Samui. Kejadian
tersebut merupakan kematian ketiga di Thailand dalam 14 bulan terakhir. Dua
kematian lainnya terjadi pada seorang perempuan Thailand di pulau Koh Phangan
atau yang lebih dikenal dengan Full Moon Party Agustus lalu. Sementara seorang
anak laki-laki Prancis berusia lima tahun meninggal karena sengatan pada
Agustus tahun lalu. (republika.co.id, BANGKOK)
Ubur-ubur kotak biasanya ditemukan
di perairan Thailand selama musim hujan yang berlangsung sekitar Juni hingga
Oktober, dan tidak seperti banyak ubur-ubur lainnya, ubur-ubur kotak tidak
mengapung di permukaan laut. Mereka berenang lebih dalam dan lebih sulit
dilihat dan kecepatan renangnya juga lebih cepat dibandingkan ubur-ubur
lainnya.
Pertolongan pertama pada sengatan
ubur-ubur dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya dengan air panas
(600 C) untuk membilas luka. Karena kebanyakan racun adalah molekul protein,
maka proses pemanasan dapat mendenaturasi strukturnya sehingga dapat mereduksi
efeknya. Asam cuka/ asetat (CH3COOH) dengan konsentrasi 4-6% dimana luka
direndam sekitar 30 detik. Minuman coca-cola atau anggur juga dapat digunakan
jika tidak ada asam cuka. perendaman luka sengat dengan urin (urinasi), enzim
papai dalam daun buah pepaya, aluminium sulfat , alkohol, sodium hipoklorite,
pemutih/bleach, ammonia, bensin/minyak tanah serta menggosok daerah luka dengan
pasir pantai[2].
Pengobatan dapat diberikan sesuai
dengan gejalanya. Umumnya yang sering digunakan adalah anti alergi, analgesik
(steroid atau kortikosteroid), antihistamin, dan antivenom[3]. Ubur-ubur tidak
selamanya berbahaya. Selain merupakan salah satu keaneka ragaman hayati, ada
pula beberapa species yang dikomsumsi sebagai hidangan yang lezat seperti
ubur-ubur bulan di perairan selatan Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
1.1.Cegolon, L., Heymann, W.C., Lange,
J.H., & Mastrangelo, G. Jellyfish Stings and Their Management: A Review.
Marine Drugs. (2013) 11, 523-550
2.2. Irham,
M., Dewi, K., Lupiyaningdyah, P., Isnaningsih, N.R. Fauna Indonesia Vol. 10.
Bogor: Pusat Penelitian Biologi – LIPI. (2011)
3.3. Edmundson,
Ann. Jellyfish Stings Treatment. eMedicine Health. (2006)
Sumber : KOMPASIANA oleh Andi Amelia Khumaera
0 komentar:
Post a Comment