Sunday, January 17, 2016

Posted by muhammad haswadrianto | File under :

Ubur-ubur merupakan hewan laut yang masuk dalam filum Cnidaria. Filum dibagi menjadi lima kelas yaitu Staurozoa (Stauromedusae); Scyphozoa (ubur-ubur sebenarnya); Hydrozoa (Portugis Man O 'War, karang api dan hidroid); Cubozoa (ubur-ubur kotak); dan Anthozoa (anemon laut dan karang). Ubur-ubur memiliki tubuh berbentuk lonceng (payung) dengan berbagai ukuran, dan jumlah tentakel yang berbeda dengan panjang mulai dari beberapa millimeter hingga 40 meter tergantung pada spesiesnya. Warna ubur-ubur mulai dari transparan hingga keputihan, kekuningan, ungu atau kebiruan[1]. 
Tentakel berisi dari beberapa ribu hingga beberapa miliar nematosit. Nematosist merupakan panah kecil yang beracun dan diinjeksikan ke kulit dalam waktu sepersekian detik. Nematosit tersebut dapat berfungsi bahkan ketika dipisahkan atau jika organisme mati, meskipun tingkatnya menurun setelah kematian. Kontak kulit dengan nematosit dapat menyebabkan peradangan, iritasi menghasilkan rasa sakit, bengkak dan gatal, serta berpotensi menyebabkan nekrosis kulit pada sengatan yang lebih parah.


Efek lokal racun ini disebabkan oleh penetrasi benang dan aktivitas berbagai senyawa, seperti fosfolipase, sebagai akibat eksositosis granul sel mast (dan, dengan demikian memungkinkan pelepasan histamine/mediator nyeri). Racun ubur-ubur kabarnya juga mencakup hemolitik dan fraksi mematikan. Fraksi mematikan mungkin berisi cardiotoxins, mampu menghasilkan aritmia ventrikel dan serangan jantung, dan neurotoksin yang dapat menyebabkan kegagalan pernapasan. Fraksi hemolitik intravaskular dapat juga memicu gagal ginjal akut. Racun cnidaria 'juga imunogenik, mampu menghasilkan respon antibodi[1]. 
Jenis ubur-ubur paling berbahaya dikenal sebagai ubur-ubur kotak. Ukuran hewan ini bisa mencapai 1 meter dengan tentakel sepanjang 3-4 meter. Racun yang dihasilkan ubur-ubur ini dengan cepat menyerang jantung dan sistem saraf sehingga dapat membunuh manusia dalam hitungan beberapa jam[1]. Jenis ubur-ubur inilah yang membunuh seorang wisatawan perempuan dari Jerman, usia 20 tahun.

Beliau meninggal pada hari selasa 6 Oktober 2015 di sebuah pulau resor populer di Thailand setelah tersengat ubur-ubur kotak saat berenang pada malam hari di pantai Koh Samui. Kejadian tersebut merupakan kematian ketiga di Thailand dalam 14 bulan terakhir. Dua kematian lainnya terjadi pada seorang perempuan Thailand di pulau Koh Phangan atau yang lebih dikenal dengan Full Moon Party Agustus lalu. Sementara seorang anak laki-laki Prancis berusia lima tahun meninggal karena sengatan pada Agustus tahun lalu. (republika.co.id, BANGKOK)

Ubur-ubur kotak biasanya ditemukan di perairan Thailand selama musim hujan yang berlangsung sekitar Juni hingga Oktober, dan tidak seperti banyak ubur-ubur lainnya, ubur-ubur kotak tidak mengapung di permukaan laut. Mereka berenang lebih dalam dan lebih sulit dilihat dan kecepatan renangnya juga lebih cepat dibandingkan ubur-ubur lainnya.

Pertolongan pertama pada sengatan ubur-ubur dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya dengan air panas (600 C) untuk membilas luka. Karena kebanyakan racun adalah molekul protein, maka proses pemanasan dapat mendenaturasi strukturnya sehingga dapat mereduksi efeknya. Asam cuka/ asetat (CH3COOH) dengan konsentrasi 4-6% dimana luka direndam sekitar 30 detik. Minuman coca-cola atau anggur juga dapat digunakan jika tidak ada asam cuka. perendaman luka sengat dengan urin (urinasi), enzim papai dalam daun buah pepaya, aluminium sulfat , alkohol, sodium hipoklorite, pemutih/bleach, ammonia, bensin/minyak tanah serta menggosok daerah luka dengan pasir pantai[2].

Pengobatan dapat diberikan sesuai dengan gejalanya. Umumnya yang sering digunakan adalah anti alergi, analgesik (steroid atau kortikosteroid), antihistamin, dan antivenom[3]. Ubur-ubur tidak selamanya berbahaya. Selain merupakan salah satu keaneka ragaman hayati, ada pula beberapa species yang dikomsumsi sebagai hidangan yang lezat seperti ubur-ubur bulan di perairan selatan Jawa.

DAFTAR PUSTAKA 

1.1.Cegolon, L., Heymann, W.C., Lange, J.H., & Mastrangelo, G. Jellyfish Stings and Their Management: A Review. Marine Drugs. (2013) 11, 523-550
2.2.  Irham, M., Dewi, K., Lupiyaningdyah, P., Isnaningsih, N.R. Fauna Indonesia Vol. 10. Bogor: Pusat Penelitian Biologi – LIPI. (2011)
3.3. Edmundson, Ann. Jellyfish Stings Treatment. eMedicine Health. (2006)

0 komentar:

Powered by Blogger.