Tuesday, December 4, 2018

Posted by muhammad haswadrianto | File under :

BAGIAN 4: AWAL DARI KESADARANKU
Malam pertamaku di Rumah sakit, kelas 3 lumayan nyesek. Pasalnya tak satupun keluargaku yang dapat menjangkau lokasi ku saat itu. Tapi untunglah aku mempunyai teman-teman yang baik. Bagiku, teman adalah orang yang menyelamatkan ku dari neraka yang bernama kesepian hihi.
Keesokan harinya barulah keluargaku dari Majene dan Tidore tiba di RS hampir bersamaan. Raut wajah kasihan, prihatin, sedih, rindu dan senang terurai secara kompak dalam kerutan kening dan pipi mereka. Aku tahu, mereka telah menua, karena umurku pun sudah tidak muda lagi, olehnya itu aku harus kuat, dan bertahan hidup untuk tidak mengisi memori masa tua mereka dengan hal-hal yang buruk.

Proses pemeriksaan dilakukan sesuai prosedur, awalnya dilakukan pemeriksaan fisik, tanda vital seperti tekanan darah, warna fases dll, kemudian dilakukan pemeriksaan dengan USG atau Ultrasonography yaitu prosedur pencitraan dengan menggunakan teknologi gelombang suara berfrekuensi tinggi untuk memproduksi gambar tubuh bagian dalam. Prosedurnya cukup sederhana, permukaan ultrasound tranducer diolesi sejumlah cairan berupa gel seperti clear ultrasound gel, tujuannya untuk meningkatkan efisiensi alat ultrasound, dengan cara mengurangi refleksi gelombang yang keluar dari tubuh. Untuk mengurangi refleksi tersebut, dan meningkatkan gelombang bunyi yang masuk ke dalam tubuh, maka diberikanlah gel, sehingga hanya 0,23 % gelombang bunyi yang dipantulkan ketika melewati batas gel dan jaringan tubuh.

Hasil pemeriksaan tanda vital dan USG dinyatakan Normal.

Aneh, aku merasa sangat sakit namun hasilnya difonis normal(?) Tapi terserahlah, itu motivasi buatku agar aku segera pulih dan keluar dari rumah sakit ini. Walaupun ada yang ganjil, aku tetap merasa senang dengan hasil tersebut bahwa aku tidak kenapa-napa. Hingga suatu malam, saat teman-teman disintegrator datang berkunjung, aku mulai menjamu mereka seolah kamar RS itulah rumahku sendiri haha.

Mereka tertawa dan akupun ikut tertawa, kami bercerita panjang lebar membahas tentang masa lalu, masa kini dan masa depan. Hari mulai larut, mereka beranjak meninggalkan rumah kecil ku itu. Sesaat setelah mereka keluar, perasaan ku mulai tidak karuan, aku terdiam mencoba mencari tahu apakah perasaan aneh ini adalah nyata atau hanya ilusi semata. Aku tak tahan lagi, tubuhku mulai sulit ku kendalikan, badanku terasa berat, namun kepalaku seolah ringan melayang, aku bergelut mencari-cari letak dimana masalah tubuhku berasal. Namun sayang, hal itu malah menguras sisa energi yang seharunya kusimpan dengan baik, hingga akhirnya aku kalah.

Kulitku pucat, membaur bersama putih gadingnya seprai kasurku, perutku mulai terasa sangat tidak nyaman, bukan sakit, perih, atau panas, namun semacam ada sesuatu didalam sana yang sangat ingin ku tarik keluar dari dalam tubuhku. Ntah apa itu, rasanya seperti ada siluman rubah berekor Sembilan (kyubi) yang siap keluar akibat segelnya telah melemah (Anime Naruto).

Aku kedinginan namun terasa panas, badan ku mulai keram, tangan ku tak bisa lagi kurasakan, aku makin panik, hingga keringat terdinginku keluar. Dengan sisa tenaga yang hampir habis, aku meminta dipanggilkan dokter. Namun yang datang hanya perawat. Malam itu pukul 23.40 (kalau tidak salah), dokter penanggung jawab sudah pulang dan yang ada adalah dokter jagapada  malam saat itu.
Awalnya kufikir aku mengalami hipoglikemia, lalu aku meminta perawat memeriksa kadar gula darahku walau dengan nada yang kasar (maafkan, aku panik waktu itu). Panikku makin menjadi-jadi ketika hasil tes gula darah menunjuk ke angka normal. sekali lagi tak ada tanda vital yang tak normal, namun aku tetap merasa kesakitan “apakah hanya sampai disini naskah yang harus ku perankan?, apa aku akan mati malam ini?” Pertanyaan itulah yang terlintas difikiran ku malam itu. 

Bagaimana tidak, ibuku sudah menangis bahkan tak ingin melihatku dengan kondisi tak berdaya seperti itu, paman-pamanku pun diam dan tak bisa berbuat apa-apa, dibalik raut wajah tertunduknya yang kulihat samar dalam cahaya redup lampu kamar. seolah berkata “ya Allah, ya Allah, tolong”. Padahal biasanya paman ku yang satu itu paling jago dalam menemukan solusi dari semua permasalahan yang ada dikeluarga besar kami, beliau adalah anak tertua dari saudara ibuku, pengganti sah pemimpin keluarga dari keturunan kakek dan nenek ku.

Tak hanya itu, beberapa pasien dan keluarga pasien lain pun ikut mengerumuniku, seakan akulah tontonan nyata manusia yang berada dekat dengan malaikat maut. Tapi aku tak memerdulikan mereka, walau diantara yang hanya menonton dan bergumam, ada beberapa yang ikut membantu menenangkan ibuku, memijat kakiku, menghangatkan tangan ku dengan nuansa khas dari minyak kayu putih bahkan ada yang membuatkan aku angin segar dari lembaran kardus bekas penampungan air mineral.

Aku delima, ntah harus merasa senang karena banyak yang memperhatikan, ataukah aku harus panik lantaran momen itu seolah aku terlihat seperti orang yang betul-betul sekarat. Jujur, aku tak bisa lagi merasakan apapun, tak ada rasa sakit, tusukan infus pun tak kurasakan bahkan tanganku sempat ku hentakkan diantara besi penyangga kasur, ku pukulkan tangan ku ke dinding hanya untuk memperoleh rasa sakit yang sempat kurindukan malam itu.

Mata ku mulai lelah untuk tetap terjaga, kelopak mataku memberat, pandangan ku mulai kabur, yang ku lihat hanya gelombang suara tangis dan doa melalui sela-sela gendang telingaku. Ada suara seorang pria dari balik telfon, semacam lantunan ayat Alquran, speaker kecil HP itu diletakkan di sebelah kanan ku. Aku kenal suara ini, suara dan lantunan Alquran yang khas dari adik ibuku yang tinggal di kota Palu. Aku menangis, air mataku jatuh dengan deras. Aku tak peduli dengan image ku, yang jelas aku hanya ingin menangis saat itu juga.

Aku malu, teramat sangat malu pada diriku sendiri. Bisa-bisanya yang kufikirkan dalam keadaan seperti itu adalah takut mati.. BODOH. Seorang Firaun saja masih sempat mengingat Tuhan disaat-saat terakhirnya. Tapi aku?? “Astagfirullah halazim.. astagfirullah halazim.. astagfirullah halazim” ucapku sembari memohon ampun dan perlindungan pada- NYA.

Air mata ini tak mau berhenti, bukan lantaran pasrah akan keadaanku, namun aku sangat malu karena tak mengingat MU dalam kondisi yang seharusnya aku mengingat MU lebih dari siapapun. Ntah energi ini datang dari mana, aku  masih saja terus menagis, padahal sebelum itu tubuhkan begitu lemah, tak berdaya namun aku masih saja sanggup untuk menguras setiap debit air mataku.

laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minaz zalimin, 
Hasbunallah Wanikmal Wakil Nikmal Maula Wanikman Nasir. 
Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahirabbil alamin.
bismillahi tawakkaltu alallah wala haula wala quwwata illa billahil aliyyil adziim.

Aku tak berhenti membaca kalimat tersebut, semakin ku baca semakin aku menangis, seolah dari sanalah aku memperoleh kekuatan/energi untuk terus menangis. Pertama kalinya, aku sangat senang karena menangis. Bersamaan dengan perasaan senang itu, badanku mulai kembali, aku dapat merasakan lagi tangan dan beberapa bagian tubuhku yang tak bisa kurasakan sebelumnya, kepalaku mulai terasa ber-massa dan rasa sakit infus yang kurindukan juga telah kembali kurasakan.
Malam itu aku membaik.

Satu hal lagi yang membuatku terharu. Malam itu aku belum sempat sholat Isya, dan Allah belum memanggilku lantaran aku masih diberikan kesempatan untuk menunaikan sholat Isya ku…


0 komentar:

Powered by Blogger.