BAGIAN 4: AWAL DARI KESADARANKU
Malam pertamaku di Rumah sakit, kelas 3 lumayan
nyesek. Pasalnya tak satupun keluargaku yang dapat menjangkau lokasi ku saat
itu. Tapi untunglah aku mempunyai teman-teman yang baik. Bagiku, teman adalah orang
yang menyelamatkan ku dari neraka yang bernama kesepian hihi.
Keesokan harinya barulah keluargaku dari Majene
dan Tidore tiba di RS hampir bersamaan. Raut wajah kasihan, prihatin, sedih, rindu
dan senang terurai secara kompak dalam kerutan kening dan pipi mereka. Aku
tahu, mereka telah menua, karena umurku pun sudah tidak muda lagi, olehnya itu
aku harus kuat, dan bertahan hidup untuk tidak mengisi memori masa tua mereka
dengan hal-hal yang buruk.
Proses pemeriksaan dilakukan sesuai prosedur, awalnya
dilakukan pemeriksaan fisik, tanda vital seperti tekanan darah, warna fases
dll, kemudian dilakukan pemeriksaan dengan USG atau Ultrasonography yaitu
prosedur pencitraan dengan menggunakan teknologi gelombang suara berfrekuensi
tinggi untuk memproduksi gambar tubuh bagian dalam. Prosedurnya cukup
sederhana, permukaan ultrasound tranducer diolesi sejumlah cairan berupa gel
seperti clear ultrasound gel, tujuannya untuk meningkatkan efisiensi alat
ultrasound, dengan cara mengurangi refleksi gelombang yang keluar dari tubuh.
Untuk mengurangi refleksi tersebut, dan meningkatkan gelombang bunyi yang masuk
ke dalam tubuh, maka diberikanlah gel, sehingga hanya 0,23 % gelombang bunyi
yang dipantulkan ketika melewati batas gel dan jaringan tubuh.
Hasil pemeriksaan tanda vital dan USG dinyatakan Normal.
Aneh, aku merasa sangat sakit namun hasilnya
difonis normal(?) Tapi terserahlah, itu motivasi buatku agar aku segera pulih dan
keluar dari rumah sakit ini. Walaupun ada yang ganjil, aku tetap merasa senang
dengan hasil tersebut bahwa aku tidak kenapa-napa. Hingga suatu malam, saat
teman-teman disintegrator datang berkunjung, aku mulai menjamu mereka seolah
kamar RS itulah rumahku sendiri haha.
Mereka tertawa dan akupun ikut tertawa, kami
bercerita panjang lebar membahas tentang masa lalu, masa kini dan masa depan. Hari
mulai larut, mereka beranjak meninggalkan rumah kecil ku itu. Sesaat setelah mereka
keluar, perasaan ku mulai tidak karuan, aku terdiam mencoba mencari tahu apakah
perasaan aneh ini adalah nyata atau hanya ilusi semata. Aku tak tahan lagi,
tubuhku mulai sulit ku kendalikan, badanku terasa berat, namun kepalaku seolah
ringan melayang, aku bergelut mencari-cari letak dimana masalah tubuhku
berasal. Namun sayang, hal itu malah menguras sisa energi yang seharunya kusimpan dengan
baik, hingga akhirnya aku kalah.
Kulitku pucat, membaur bersama putih gadingnya
seprai kasurku, perutku mulai terasa sangat tidak nyaman, bukan sakit, perih,
atau panas, namun semacam ada sesuatu didalam sana yang sangat ingin ku tarik
keluar dari dalam tubuhku. Ntah apa itu, rasanya seperti ada siluman rubah
berekor Sembilan (kyubi) yang siap keluar akibat segelnya telah melemah (Anime
Naruto).
Aku kedinginan namun terasa panas, badan ku mulai
keram, tangan ku tak bisa lagi kurasakan, aku makin panik, hingga keringat
terdinginku keluar. Dengan sisa tenaga yang hampir habis, aku meminta
dipanggilkan dokter. Namun yang datang hanya perawat. Malam itu pukul 23.40
(kalau tidak salah), dokter penanggung jawab sudah pulang dan yang ada adalah
dokter jagapada malam saat itu.
Awalnya kufikir aku mengalami hipoglikemia, lalu
aku meminta perawat memeriksa kadar gula darahku walau dengan nada yang kasar
(maafkan, aku panik waktu itu). Panikku makin menjadi-jadi ketika hasil tes
gula darah menunjuk ke angka normal. sekali lagi tak ada tanda vital yang tak
normal, namun aku tetap merasa kesakitan “apakah hanya sampai disini naskah
yang harus ku perankan?, apa aku akan mati malam ini?” Pertanyaan itulah yang
terlintas difikiran ku malam itu.
Bagaimana tidak, ibuku sudah menangis bahkan tak
ingin melihatku dengan kondisi tak berdaya seperti itu, paman-pamanku pun diam
dan tak bisa berbuat apa-apa, dibalik raut wajah tertunduknya yang kulihat
samar dalam cahaya redup lampu kamar. seolah berkata “ya Allah, ya Allah,
tolong”. Padahal biasanya paman ku yang satu itu paling jago dalam menemukan
solusi dari semua permasalahan yang ada dikeluarga besar kami, beliau adalah
anak tertua dari saudara ibuku, pengganti sah pemimpin keluarga dari keturunan
kakek dan nenek ku.
Tak hanya itu, beberapa pasien dan keluarga
pasien lain pun ikut mengerumuniku, seakan akulah tontonan nyata manusia yang
berada dekat dengan malaikat maut. Tapi aku tak memerdulikan mereka, walau
diantara yang hanya menonton dan bergumam, ada beberapa yang ikut membantu
menenangkan ibuku, memijat kakiku, menghangatkan tangan ku dengan nuansa khas
dari minyak kayu putih bahkan ada yang membuatkan aku angin segar dari lembaran
kardus bekas penampungan air mineral.
Aku delima, ntah harus merasa senang karena
banyak yang memperhatikan, ataukah aku harus panik lantaran momen itu seolah
aku terlihat seperti orang yang betul-betul sekarat. Jujur, aku tak bisa lagi
merasakan apapun, tak ada rasa sakit, tusukan infus pun tak kurasakan bahkan
tanganku sempat ku hentakkan diantara besi penyangga kasur, ku pukulkan tangan ku ke
dinding hanya untuk memperoleh rasa sakit yang sempat kurindukan malam itu.
Mata ku mulai lelah untuk tetap terjaga, kelopak
mataku memberat, pandangan ku mulai kabur, yang ku lihat hanya gelombang suara
tangis dan doa melalui sela-sela gendang telingaku. Ada suara seorang pria dari
balik telfon, semacam lantunan ayat Alquran, speaker kecil HP itu diletakkan di
sebelah kanan ku. Aku kenal suara ini, suara dan lantunan Alquran yang khas
dari adik ibuku yang tinggal di kota Palu. Aku menangis, air mataku jatuh dengan
deras. Aku tak peduli dengan image ku, yang jelas aku hanya ingin menangis saat
itu juga.
Aku malu, teramat sangat malu pada diriku
sendiri. Bisa-bisanya yang kufikirkan dalam keadaan seperti itu adalah takut
mati.. BODOH. Seorang Firaun saja masih sempat mengingat Tuhan disaat-saat
terakhirnya. Tapi aku?? “Astagfirullah halazim.. astagfirullah halazim..
astagfirullah halazim” ucapku sembari memohon ampun dan perlindungan pada- NYA.
Air mata ini tak mau berhenti, bukan lantaran
pasrah akan keadaanku, namun aku sangat malu karena tak mengingat MU dalam kondisi
yang seharusnya aku mengingat MU lebih dari siapapun. Ntah energi ini datang
dari mana, aku masih saja terus menagis, padahal sebelum itu tubuhkan
begitu lemah, tak berdaya namun aku masih saja sanggup untuk menguras setiap
debit air mataku.
laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu
minaz zalimin,
Hasbunallah
Wanikmal Wakil Nikmal Maula Wanikman Nasir.
Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati
lillahirabbil alamin.
bismillahi tawakkaltu alallah wala haula
wala quwwata illa billahil aliyyil adziim.
Aku tak berhenti membaca kalimat tersebut,
semakin ku baca semakin aku menangis, seolah dari sanalah aku memperoleh
kekuatan/energi untuk terus menangis. Pertama kalinya, aku sangat
senang karena menangis. Bersamaan dengan perasaan senang itu, badanku mulai
kembali, aku dapat merasakan lagi tangan dan beberapa bagian tubuhku yang tak
bisa kurasakan sebelumnya, kepalaku mulai terasa ber-massa dan rasa sakit infus
yang kurindukan juga telah kembali kurasakan.
Malam itu aku membaik.
Satu hal lagi yang membuatku terharu. Malam itu
aku belum sempat sholat Isya, dan Allah belum memanggilku lantaran aku masih
diberikan kesempatan untuk menunaikan sholat Isya ku…
0 komentar:
Post a Comment