Apa Sih Swamedikasi itu?
Swamedikasi (self-medication)
merupakan upaya yang paling banyak dilakukan masyarakat untuk mengatasi gejala
penyakit sebelum mencari pertolongan dari tenaga kesehatan. Self-medication
adalah penggunaan obat non resep oleh seseorang atas inisiatif sendiri. Pemilihan dan penggunaan obat baik obat modern, herbal, maupun obat
tradisional yang seseorang lakukan untuk melindungi diri dari penyakit dan
gejalanya.
Berapa
seringkah orang melakukan swamedikasi?
Penelitian Riset Dasar Kesehatan Nasional Tahun 2013, sejumlah 103.860 atau
35,2% dari 294.959 rumah tangga di Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi.
Dari 35,2 % rumah tangga yang menyimpan obat, proporsi 35,7% menyimpan obat
keras dan 27,8% menyimpan antibiotik. Dari jumlah tersebut, 81,9% menyimpan obat
keras dan 86,1% menyimpan antibiotik yang diperoleh tanpa resep. Data ini jelas
menunjukkan bahwa sebagian perilaku swamedikasi di Indonesia masih berjalan
tidak rasional.
Apakah boleh
ber-swaamedikasi semaunya kita?
Untuk melakukan swamedikasi secara aman, rasional, efektif dan terjangkau, masyarakat perlu menambah bekal pengetahuan dan melatih keterampilan dalam
praktik swamedikasi. Masyarakat mutlak memerlukan informasi yang jelas dan
terpercaya agar penentuan kebutuhan jenis atau jumlah obat dapat diambil
berdasarkan alasan yang rasional. Ada beberapa pengetahuan minimal yang
sebaiknya dipahami masyarakat karena merupakan hal penting dalam swamedikasi,
pengetahuan tersebut antara lain tentang mengenali gejala penyakit, memilih
produk sesuai dengan indikasi dari penyakit, mengikuti petunjuk yang tertera
pada etiket brosur, memantau hasil terapi dan kemungkinan efek samping yang
ada.
Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan
keterjangkauan pengobatan. Pada pelaksanaannya swamedikasi dapat menjadi sumber
terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan
pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunaannya. Dalam hal ini Apoteker
dituntut untuk dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat sehingga
masyarakat dapat terhindar dari penyalahgunaan obat (drug abuse) dan
penggunasalahan obat (drug misuse).
Kemana kita bertanya agar Swamedikasi Aman?
Disinilah peran Farmasis atau Apoteker untuk membimbing dan memilihkan
obat yang tepat. Pasien dapat meminta
informasi kepada apoteker agar pemilihan obat
lebih tepat. Selain apoteker, tenaga farmasi lain seperti asisten
apoteker mempunyai peran penting dalam
menyampaikan informasi obat kepada
masyarakat. Seperti penyampaian informasi tentang Penggunaan obat secara
tepat, aman dan rasional. Atas
permintaan masyarakat Informasi yang diberikan harus benar, jelas dan mudah dimengerti serta cara
penyampaiannya disesuaikan dengan
kebutuhan, selektif, etika, bijaksana dan hati-hati. Informasi yang
diberikan kepada pasien sekurang
kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara
penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan/ minuman/ aktifitas
yang hendaknya dihindari selama terapi
dan informasi lain yang diperlukan.
Apa sih
Penyebab Seseorang Ber-Swamedikasi?
Beberapa faktor penyebab dilakukannya swamedikasi adalah seperti
faktor sosial ekonomi, pelayanan kesehatan yang kurang memadai, gaya hidup,
faktor kesehatan lingkungan dan kepercayaan diri serta pengetahuan yang
dianggap cukup untuk melakukan swamedikasi. Salah satu faktor yang paling di
pilih menjadi alasan dilakukannya swamedikasi adalah faktor informasi obat yang
meliputi adanya brosur obat, pengaruh iklan dan pemahaman tentang mencegah
lebih baik dari pada mengobati.
Masyarakat seringkali mendapatkan informasi obat melalui iklan, baik di
media cetak maupun media elektronik dan itu merupakan jenis informasi yang
paling berkesan, sangat mudah ditangkap, serta sifatnya komersial.
Apa yang
menjadi kekawatiran ber-Swamedikasi saat ini?
1. Brosur Obat
Brosur
obat adalah selebaran kertas yang berisi informasi obat dan berada pada kemasan
obat namun karena keterbatasan
ekonomi maka masyarakat umumnya
hanya membeli obat secara eceran
sehingga tidak dapat membaca keterangan yang tercantum pada kemasan obat.
Alhasil
kondisi ini membuat masyarakat mengetahui indikasi obat dari perkataan tetangga
atau media iklan yang beredar pada televisi atau radio dan cara penggunaan obat
diperoleh berdasarkan pengalaman. Informasi obat berupa kandungan bahan aktif obat, dosis dan cara
pemberian, efek samping dan interaksi obat tidak diketahui. Hal ini memicu terjadinya swamedikasi yang
tidak tepat.
Pelayanan informasi obat sangatlah diperlukan dan sangat penting
untuk di sampaikan kepada masyarakat awam, tentunya pelayanan informasi obat
haruslah di sampaikan oleh orang yang telah ahli di bidang tersebut yaitu
seorang farmasis, namun melihat fakta yang telah terjadi akibat banyaknya
informasi obat yang beredar bukan melalui media yang memberikan informasi lengkap membuat
sebagian masyarakan berani dan percaya diri akan informasi yang telah dia
dapatkan dan mengkonsumsi suatu obat secara
sendiri tanpa arahan yang jelas dari farmasis.
Contoh kasus
Seorang anak meninggal dunia yang disebabkan terdapatnya infeksi
lambung yang sangat parah. Dilaporkan bahwa Korban tersebut sering menkonsumsi
obat sakit kepala merek terkenal. Karena sakit kepala yang sangat berat
dirasakannya, korban biasa meminum 2-4 tablet sekaligus. Ia tidak menyadari,
ternyata bukan kebembuhan yang diperoleh namun resiko yang sangat besar. Obat
bebas yang aman, mengandung parasetamol dan kofein yang berbahaya jika tidak
digunakan sesuai dengan petunjuk yang tepat. (inferkes edisi 3 2015-hal 6).
Informasi lengkap sebenarnya sudah tercantum pada brosur obat.
Pemerintah telah mewajibkan pada produsen obat untuk mencantumkan komposisi,
indikasi, cara pakai, efek samping, kontra indikasi, dan lain-lain pada kemasan,
namun seringkali masyarakat tidak membaca dan mempelajari dengan cermat
informasi tersebut, sehingga hanya nama obat dan cara pakainya yang diketahui.
2. Iklan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Farmasi pada tahun 1992 sumber informasi yang banyak digunakan masyarakat dalam swamedikasi adalah iklan terutama iklan obat di televisi yaitu sebesar 24-36%. Televisi juga memberi rekomondasi bagi remaja dalam pemilihan dan penggunaan obat. Iklan televisi merupakan sumber utama (55%) infomasi mengenai obat. Sedangkan 40% mendapat informasi mengenai obat dari teman atau anggota keluarga dan 5% lewat iklan radio, poster/spanduk
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Farmasi pada tahun 1992 sumber informasi yang banyak digunakan masyarakat dalam swamedikasi adalah iklan terutama iklan obat di televisi yaitu sebesar 24-36%. Televisi juga memberi rekomondasi bagi remaja dalam pemilihan dan penggunaan obat. Iklan televisi merupakan sumber utama (55%) infomasi mengenai obat. Sedangkan 40% mendapat informasi mengenai obat dari teman atau anggota keluarga dan 5% lewat iklan radio, poster/spanduk
Namun
disisi lain iklan memiliki time limite untuk menyampaikan promosinya sehingga
informasi yang terdapat didalamnya haruslah singkat dan menarik, hal tersebut
menjadi salah satu faktor terjadinya kesalahan swamediksi oleh masyarakat
akibat jumlah informasi yang dibutuhkan tidak memadai.
Tahun
2017 BPOM menemukan banyak pelanggaran iklan obat dan makanan. Dari 4.095 iklan
obat yang dimonitor, sebanyak 390 iklan atau 9,52% tidak memenuhi ketentuan. Iklan
obat tradisional sebanyak 3.467 pelanggaran atau 56,46% dan suplemen kesehatan
sebanyak 911 pelanggaran atau 34,35%.
Iklan
kosmetik yang tidak memenuhi ketentuan, kata Andarini juga cukup tinggi yaitu
797 pelanggaran atau sebanyak 3,63% dari 21.955 iklan yang diawasi.
sepanjang
semester I 2018 terdapat 1.157 produk obat tradisional atau 65% dari 2.088
produk obat tradisional yang tidak memenuhi syarat. Sementara untuk produk
suplemen kesehatan, terdapat 517 produk atau 49% dari total 1.054 produk
suplemen kesehatan yang tidak memenuhi syarat.
Banyaknya iklan obat di
televisi yang tidak sesuai dengan etika periklanan obat dikhawatirkan akan
dapat menyebabkan interpretasi yang salah pada masyarakat tentang penggunaan
obat dalam tindakan pengobatan sendiri.
Contoh Kasus
Salah satu contoh kasalahan
penggunaan obat adalah seorang kakek meninggal diduga akibat overdosisi obat
kuat. Obat seperti ini memang dapat menyebabkan peningkatan aliran darah para
bagian alat vital dan terjadinya penutupan katup untuk arus balik darah.
Informasi yang tidak cukup tentang penggunaan, bahaya dan dosisnya hampir tidak
disampaikan secara langsung dalam iklan-iklan obat.
Kesimpulan
Swamedikasi memang sangat diperlukan untuk menjawab permasalahan
dalam penanganan penyakit, mengingat pelayanan kesehatan yang cenderung kurang
efektif dan sangat sulit dijangkau, pengetahuan tentang informasi obat yang
dengan mudah diperoleh oleh masyarakat tidak dapat menggantikan peran apoteker
dalam menyampaikan keamanan penggunaan suatu obat. Sehingga swamedikasi masih
perlu memperoleh perhatian yang sangat serius, mengingat kemajuan masyarakat
dalam memperoleh informasi obat yang cacat semakin besar.
Meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa obat adalah kumpulan racun yang tertakar dan meningkatkan skill serta kemampuan tenaga medis terutama apoteker dalam menunaikan tugasnya yaitu memastikan obat yang diminum pasien dapat bekerja efektif dan aman adalah cara terbaik yang dapat kita lakukan demi mewujudkan Indonesia yang Sehat.
Merasa bahwa dirinya telah mempunyai informasi obat yang cukup
membuat masyarakat awam “tersesat” dalam informasi yang cacat.