Monday, February 11, 2019

Posted by muhammad haswadrianto | File under :

Apa Sih Swamedikasi itu?
Swamedikasi (self-medication) merupakan upaya yang paling banyak dilakukan masyarakat untuk mengatasi gejala penyakit sebelum mencari pertolongan dari tenaga kesehatan. Self-medication adalah penggunaan obat non resep oleh seseorang atas inisiatif sendiri. Pemilihan dan penggunaan obat baik obat modern, herbal, maupun obat tradisional yang seseorang lakukan untuk melindungi diri dari penyakit dan gejalanya.

Berapa seringkah orang melakukan swamedikasi?
Penelitian Riset Dasar Kesehatan Nasional Tahun 2013, sejumlah 103.860 atau 35,2% dari 294.959 rumah tangga di Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi. Dari 35,2 % rumah tangga yang menyimpan obat, proporsi 35,7% menyimpan obat keras dan 27,8% menyimpan antibiotik. Dari jumlah tersebut, 81,9% menyimpan obat keras dan 86,1% menyimpan antibiotik yang diperoleh tanpa resep. Data ini jelas menunjukkan bahwa sebagian perilaku swamedikasi di Indonesia masih berjalan tidak rasional.

Apakah boleh ber-swaamedikasi semaunya kita? 
Untuk melakukan swamedikasi secara aman, rasional, efektif dan terjangkau, masyarakat perlu menambah bekal pengetahuan dan melatih keterampilan dalam praktik swamedikasi. Masyarakat mutlak memerlukan informasi yang jelas dan terpercaya agar penentuan kebutuhan jenis atau jumlah obat dapat diambil berdasarkan alasan yang rasional. Ada beberapa pengetahuan minimal yang sebaiknya dipahami masyarakat karena merupakan hal penting dalam swamedikasi, pengetahuan tersebut antara lain tentang mengenali gejala penyakit, memilih produk sesuai dengan indikasi dari penyakit, mengikuti petunjuk yang tertera pada etiket brosur, memantau hasil terapi dan kemungkinan efek samping yang ada.

Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan pengobatan. Pada pelaksanaannya swamedikasi dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunaannya. Dalam hal ini Apoteker dituntut untuk dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat terhindar dari penyalahgunaan obat (drug abuse) dan penggunasalahan obat (drug misuse).


Kemana kita bertanya agar Swamedikasi Aman? 
Disinilah peran Farmasis atau Apoteker untuk membimbing dan memilihkan obat  yang tepat. Pasien dapat meminta informasi kepada apoteker agar pemilihan obat  lebih tepat. Selain apoteker, tenaga farmasi lain seperti asisten apoteker  mempunyai peran penting dalam menyampaikan informasi obat kepada  masyarakat. Seperti penyampaian informasi tentang Penggunaan obat secara tepat,  aman dan rasional. Atas permintaan masyarakat Informasi yang diberikan harus  benar, jelas dan mudah dimengerti serta cara penyampaiannya disesuaikan dengan  kebutuhan, selektif, etika, bijaksana dan hati-hati. Informasi yang diberikan  kepada pasien sekurang kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara  penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan/ minuman/ aktifitas yang  hendaknya dihindari selama terapi dan informasi lain yang diperlukan.

Apa sih Penyebab Seseorang Ber-Swamedikasi?
Beberapa faktor penyebab dilakukannya swamedikasi adalah seperti faktor sosial ekonomi, pelayanan kesehatan yang kurang memadai, gaya hidup, faktor kesehatan lingkungan dan kepercayaan diri serta pengetahuan yang dianggap cukup untuk melakukan swamedikasi. Salah satu faktor yang paling di pilih menjadi alasan dilakukannya swamedikasi adalah faktor informasi obat yang meliputi adanya brosur obat, pengaruh iklan dan pemahaman tentang mencegah lebih baik dari pada mengobati.

Masyarakat seringkali mendapatkan informasi obat melalui iklan, baik di media cetak maupun media elektronik dan itu merupakan jenis informasi yang paling berkesan, sangat mudah ditangkap, serta sifatnya komersial.

Apa yang menjadi kekawatiran ber-Swamedikasi saat ini?
1. Brosur Obat
Brosur obat adalah selebaran kertas yang berisi informasi obat dan berada pada kemasan obat namun  karena keterbatasan ekonomi  maka masyarakat umumnya hanya  membeli obat secara eceran sehingga tidak dapat membaca keterangan yang tercantum pada kemasan obat. 

Alhasil kondisi ini membuat masyarakat mengetahui indikasi obat dari perkataan tetangga atau media iklan yang beredar pada televisi atau radio dan cara penggunaan obat diperoleh berdasarkan pengalaman. Informasi obat berupa  kandungan bahan aktif obat, dosis dan cara pemberian, efek samping dan interaksi obat tidak diketahui.  Hal ini memicu terjadinya swamedikasi yang tidak tepat.

Pelayanan informasi obat sangatlah diperlukan dan sangat penting untuk di sampaikan kepada masyarakat awam, tentunya pelayanan informasi obat haruslah di sampaikan oleh orang yang telah ahli di bidang tersebut yaitu seorang farmasis, namun melihat fakta yang telah terjadi akibat banyaknya informasi obat yang beredar bukan melalui media yang memberikan informasi lengkap membuat sebagian masyarakan berani dan percaya diri akan informasi yang telah dia dapatkan dan mengkonsumsi suatu obat secara sendiri tanpa arahan yang jelas dari farmasis.

Contoh kasus
Seorang anak meninggal dunia yang disebabkan terdapatnya infeksi lambung yang sangat parah. Dilaporkan bahwa Korban tersebut sering menkonsumsi obat sakit kepala merek terkenal. Karena sakit kepala yang sangat berat dirasakannya, korban biasa meminum 2-4 tablet sekaligus. Ia tidak menyadari, ternyata bukan kebembuhan yang diperoleh namun resiko yang sangat besar. Obat bebas yang aman, mengandung parasetamol dan kofein yang berbahaya jika tidak digunakan sesuai dengan petunjuk yang tepat. (inferkes edisi 3 2015-hal 6).

Informasi lengkap sebenarnya sudah tercantum pada brosur obat. Pemerintah telah mewajibkan pada produsen obat untuk mencantumkan komposisi, indikasi, cara pakai, efek samping, kontra indikasi, dan lain-lain pada kemasan, namun seringkali masyarakat tidak membaca dan mempelajari dengan cermat informasi tersebut, sehingga hanya nama obat dan cara pakainya yang diketahui.

2. Iklan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Farmasi pada tahun 1992 sumber informasi yang banyak digunakan masyarakat dalam swamedikasi adalah iklan terutama iklan obat di televisi yaitu sebesar 24-36%. Televisi juga memberi rekomondasi bagi remaja dalam pemilihan dan penggunaan obat. Iklan televisi merupakan sumber utama (55%) infomasi mengenai obat. Sedangkan 40% mendapat informasi mengenai obat dari teman atau anggota keluarga dan 5% lewat iklan radio, poster/spanduk
Namun disisi lain iklan memiliki time limite untuk menyampaikan promosinya sehingga informasi yang terdapat didalamnya haruslah singkat dan menarik, hal tersebut menjadi salah satu faktor terjadinya kesalahan swamediksi oleh masyarakat akibat jumlah informasi yang dibutuhkan tidak memadai.
Tahun 2017 BPOM menemukan banyak pelanggaran iklan obat dan makanan. Dari 4.095 iklan obat yang dimonitor, sebanyak 390 iklan atau 9,52% tidak memenuhi ketentuan. Iklan obat tradisional sebanyak 3.467 pelanggaran atau 56,46% dan suplemen kesehatan sebanyak 911 pelanggaran atau 34,35%.

Iklan kosmetik yang tidak memenuhi ketentuan, kata Andarini juga cukup tinggi yaitu 797 pelanggaran atau sebanyak 3,63% dari 21.955 iklan yang diawasi.

sepanjang semester I 2018 terdapat 1.157 produk obat tradisional atau 65% dari 2.088 produk obat tradisional yang tidak memenuhi syarat. Sementara untuk produk suplemen kesehatan, terdapat 517 produk atau 49% dari total 1.054 produk suplemen kesehatan yang tidak memenuhi syarat.
Banyaknya iklan obat di televisi yang tidak sesuai dengan etika periklanan obat dikhawatirkan akan dapat menyebabkan interpretasi yang salah pada masyarakat tentang penggunaan obat dalam tindakan pengobatan sendiri.
Contoh Kasus
Salah satu contoh kasalahan penggunaan obat adalah seorang kakek meninggal diduga akibat overdosisi obat kuat. Obat seperti ini memang dapat menyebabkan peningkatan aliran darah para bagian alat vital dan terjadinya penutupan katup untuk arus balik darah. Informasi yang tidak cukup tentang penggunaan, bahaya dan dosisnya hampir tidak disampaikan secara langsung dalam iklan-iklan obat.
Kesimpulan
Swamedikasi memang sangat diperlukan untuk menjawab permasalahan dalam penanganan penyakit, mengingat pelayanan kesehatan yang cenderung kurang efektif dan sangat sulit dijangkau, pengetahuan tentang informasi obat yang dengan mudah diperoleh oleh masyarakat tidak dapat menggantikan peran apoteker dalam menyampaikan keamanan penggunaan suatu obat. Sehingga swamedikasi masih perlu memperoleh perhatian yang sangat serius, mengingat kemajuan masyarakat dalam memperoleh informasi obat yang cacat semakin besar. 

Meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa obat adalah kumpulan racun yang tertakar dan meningkatkan skill serta kemampuan tenaga medis terutama apoteker dalam menunaikan tugasnya yaitu memastikan obat yang diminum pasien dapat bekerja efektif dan aman adalah cara terbaik yang dapat kita lakukan demi mewujudkan Indonesia yang Sehat.


Merasa bahwa dirinya telah mempunyai informasi obat yang cukup membuat masyarakat awam “tersesat” dalam informasi yang cacat.



0 komentar:

Powered by Blogger.