Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang
sebabkan oleh infeksi dari virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
betina Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang terinfeksi virus dengue. Di dunia medis, penyakit DBD
dikenal juga dengan sebutan DHF (dengue haemorragic fever).
Penyakit ini menempati posisi teratas dalam penyakit infeksi di dunia. Lebih
dari 2,5 miliar orang atau setara dengan 40% dari populasi manusia di dunia
yang memiliki tempat tinggal dengan resiko penyakit DBD. Sekitar 50-100 juta
populasi terjangkit penyakit DBD setiap tahunnya. dan sedikitnya di 100 negara
di seluruh dunia telah terinfeksi penyakit DB.
Menurut Depkes RI (2009), pada tahun 2008 kasus DBD di Indonesia sebanyak
137.469 kasus, mengalami peningkatan pada tahun 2009 yaitu sebesar 154.855 kasus, pada tahun 2010 sebanyak
156.086 kasus dengan kematian 1.358 orang (Kompas,
2010). Tahun 2011 kasus DBD mengalami penurunan yaitu 49.486 kasus dengan
kematian 403 orang (Ditjen PP & PL Kemkes RI, 2011). Pada tahun 2014,
terjadi sebanyak 100.347 kasus DBD, jumlah kasus yang meninggal sebesar 907 jiwa,. Terkhusus di provinsi Sulawesi
selatan, terjadi sebanyak 2.904 kasus DBD, dan 24 korban meninggal dari jumlah
populasi 8.395.747 jiwa penduduk di provinsi Sulawesi selata.
Ada banyak jalan yang dapat ditempuh untuk
mencegah penyakit demam berdarah yaitu salah satunya dengan pengendalian vektor
penyakit DBD dengan cara menurunkan jumlah populasi larva nyamuk Aedes
aegyptida. Pengendalian tersebut dapat dilakukan dengan Penyemprotan ULV
(ultra low volume) malathion, pengasapan (fogging), penyuluhan atau
sosialisasi program 4M (Menutup, Menguras, Mengubur dan Memantau), dan
pemakaian obat anti nyamuk serta pemberian bubuk abate.
Namun Pencegahan secara kimiawi terkadang dapat
menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan tubuh manusia. Oleh
sebab itu dibutuhkan solusi alternatif yang dapat mengendalikan vektor penyakit
dengan menekan pertumbuhan larva nyamuk Aedes aegypti tanpa memberikan
dampak buruk terhadap lingkungan dan tubuh manusia. Salah satunya yaitu
pencegahan secara alamiah dengan memanfaatkan efek larvasida tanaman terhadap
larva nyamuk Aedes aegyptida.
Salah satu
tumbuhan yang dapat digunakan sebagai larvasida (pembunuh Larva) adalah Carica papaya yang memiliki metabolit sekunder dengan kandungan alkaloid carpain, flavonoid,
saponin caricaksantin, violaksantin, papain, dan tannin yang dapat berfungsi sebagai insektisida
alami.
Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan oleh Veriswan (2006) melaporkan bahwa daun pepaya terbukti
memiliki kemampuan sebagai insektisida alami yang dapat mematikan larva nyamuk Aedes
aegypti. Hal ini disebabkan karena adanya senyawa papain
yang terkandung dalam getah pepaya dimana
enzim ini memiliki kemampuan memecah protein dan dengan serial konsentrasi
tertentu dapat menyebabkan kematian pada larva Aedes aegypti.
secara empiris, daun pepaya memang digunakan sebagai bahan pengobatan pada penyakit malaria, hal tersebut terbukti dengan berbagai catatan sejarah yang menjadi saksi bisu keampuhan dari tanaman ini. dengan dilakukannya penelitian yang ada, dapat lebih meyakinkan lagi bahwa ternyata rebusan atau rendaman daun pepaya dapat mematikan mata rantai penyebab demam berdarah dan malaria.