Friday, January 2, 2015

Posted by muhammad haswadrianto | File under :

Setiap insan manusia tentunya menginginkan anaknya menjadi sukses, atau anak yang mengingnkan masa depan gemilang. Ya, sama seperti saya yang berharap memiliki masa depan di sebuah universitas negeri. Langkah saya berawal dari keikutsertaan saya dalam SNMPTN (jalur undangan) sistem penilaiannya menggunakan nilai rapot sekolah. Dengan mendaftar di UPI Bandung dan UNS Surakarta jurusan Biologi dan Sastra Indonesia, saya menaruh harapan agar bisa diterima disana.

Hari demi hari terlewati. Pengumuman pun tiba, tapi ada tangis disana. Saya GAGAL. Sementara teman karib saya yang juga mendaftar di UIN, dia lolos seleksi. Tangis saya pecah, namun orangtua menghibur dan meyakinkan jika itu memang bukan rezeki saya. Akhirnya saya pun bangkit dan mengikuti lagi tes namun bukan ke universitas, melainkan lembaga kesehatan yakni Poltekkes Jakarta 3, dengan jurusan kebidanan. Saya belajar semampu saya, berusaha dan mempelajari soal-soal yang terdahulu. Saya pun sempat optimis, karena sedikit mudah dalam mengerjakan soal. Namun, berdoa pada Sang Pencipta pun saya lakukan demi lancarnya segala langkah yang saya lakukan.

Di sisi lain, sambil menunggu pengumuman dari Poltekkes Jakarta 3, saya mengikuti ujian tulis SBMPTN yang diadakan serentak di Indonesia. Namun, karena tidak ingin gagal lagi, saya memutuskan untuk berpindah jurusan. Sastra Indonesia menjadi tujuan saya. Dengan susah payah saya belajar dari awal tentang materi pelajaran IPS. Karena ternyata Satra itu masuk ke bagian SosHum (sosial & humaniora) pesaing yang tidak sedikit membuat saya harus berjuang melawan mereka semua. Meski ada rasa pesimis di hati karena IPS bukanlah jurusan saya. Setiap tahajud saya panjatkan doa bahkan tangis pun pecah di setiap kali saya mengingat kegagalan yang saya lakukan.

            “Ya Allah, ampuni hambaMu ini yang selalu banyak meminta. Hamba hanyalah manusia yang ingin mendapat ridhoMu, Ya Allah. Ridhoilah setiap langkahku. Aku mohon!! Jabahlah permohonanku... harapanku saat ini hanyalah ingin membahagiakan orangtua, Ya Allah. Hanya itu. aku mohon, permudahlah aku dalam menjalani segala usahaku untuk bisa kuliah di perguruan tinggi negeri..”

            Hari ujian pun tiba. Saya dan beserta ratusan ribu anak manusia lainnya mengikuti ujian tertulis selama dua hari. Sistem soal serta pelajaran yanh kurang saya kuasai memberi pertanda akan adanya lagi kegagalan dalam langkah saya ini, pikiran buruk itu menyertai saya. Namun, saya teringat akan perkataan sahabat saya “ujian tulis kayak begitu mah main hoki, siapapun bisa beruntung”. Saya pun menaruh sekecil harapan adanya keberuntungan menyertai saya dalam ujian SBMPTN itu, hanya 20%, sisanya? Saya pasrah akan hasilnya. Karena memang IPS bukan keahlian saya, bahkan menyentuh materi IPS pun tak pernah. Saya terus terus dan terus berdoa semoga Allah selalu memberi saya kekuatan dan keikhlasan dalam menghadapi ini semua. Saya pun menyadari jika gagalnya saya ini melibatkan otak saya yang mungkin pas-pasan, meski selama sekolah 12 tahun, rangking 3 sampai 2 besar selalu saya raih tapi itu BUKAN JAMINAN.

 Suatu malam saya bermimpi. Saya sangat bahagia sekali ketika mendapati bahwa nama saya terdaftar sebagai calon mahasiswi di Poltekkes Jakarta 3. Hati saya gembira berbuncah-buncah dan melompat kegirangan. Pagi pun tiba, mimpi saya itu menjadi nyata. Saya memang lolos seleksi ujian tulis di Poltekkes. Ibu saya sempat berkata jika beliau pun memimpikan saya diterima disana. Namun, perasaan gembira itu tidak berlangsung lama, saya membaca jika setelah lulus uji tulis, saya harus mengikuti uji kesehatan (teskes) dan peraturannya adalah jika saya tidak lolos teskes, itu artinya saya pun gugur dan batal masuk Poltekkes. Awalnya saya langsung pesimis, namun, Ibu saya memang hebat, beliau memberi support pada saya untu semangat melalui teskes itu.  Ibu saya pun menyuruh saya untuk minum air kelapa hijau dan susu putih untuk membersihkan paru-paru saya. Sebenarnya saya tidak memiliki penyakit paru-paru atau keluhan apapun, hanya sebagai jaga-jaga saja untuk kembali menyehatkan tubuh saya.

Setelah pengumuman Poltekkes yang menyenangkan sekaligus menyedihkan itu, saya mendapat kabar buruk. Saya kembali gagal lolos seleksi ujian SBMPTN. Saya mendesah nafas kecewa dan kembali sujud berhadapan dengan Allah, menangis, memohon, meminta kekuatan untuk menerima semuanya.

Hari demi hari telah berlalu. Waktu pun cepat berlalu. Saya sudah mengikuti teskes dan tinggal berdebar menunggu hasilnya... dan lagi-lagi kekecewaan yang saya dapatkan. SAYA GAGAL LAGI! Untuk yang kesekian kalinya. Saya amat malu pada orangtua karena mengecewakan mereka. Bahkan saya merasa berdosa pada mereka. Sudah tak terhitung berapa jumlah nominal yang harus dikeluarkan untuk mengikuti segaalaaa tes masuk. Mungkin sekitar satu juta atau bahkan lebih.. “Ya Allah.. sebodoh inikah aku?? Aku benar-benar sangat kecewa dan terpukul.. bukan aku bermaksud tidak mensyukuri, tapi aku merasa tidak ada artinya dibandingkan mereka yang lebih pandai dariku..”

Ini membuat diriku seolah ditampar berkali-kali. Menyadarkanku dan menginsyafkanku agar tidak sombong dan untuk selalu rendah hati. Untuk lagi lagi dan lagi, SAYA GAGAL LAGI lolos seleksi tes kesehatan. Hati saya sakit dan seolah rusak. Saya ingin menangis, berlari sekencang mungkin dan langsung menghampiri Allah, memohon ampun padaNya atas segala dosan yang pernah saya perbuat hingga saya dipersulit untuk masuk kuliah supaya bisa membahagiakan orangtua saya. Sedikit informasi, orangtua saya adalah tipikal orangtua yang memilik ambisi dan impian. Karena ayah saya lulusan UNJ dulunya, maka saya pun di dorong agar bisa masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) meski tidak harus UNJ. Satu hal terakhir yang bisa saya lakukan adalah mengikuti lagi tes ujian mandiri masuk Universitas Jenderal Sudirman (Unsoed). Saya harus bangkit lagi setelah berkali-kali terjatuh dan terluka parah. Saya kuatkan kaki saya dan teguhkan hati untuk kembali melangah menata masa depan yang mungkin masih menanti saya. Dengan biaya yang sangat mahal, saya mengikuti ujian tulis mandiri Unsoed. Setelah mengikuti tes, masuknya bulan suci ramadhan membuat saya melupakan segala tangis saya dulu. Saya benar-benar pasrah akan apapun yang terjadi kelak, sebenarnya saya pun mengakui mungkin usaha saya belum sempurna dan seutuhnya, maka jika usaha terakhir saya ini gagal lagi, maka dengan berat hati dan dengan segudang rasa bersalah, saya harus masuk swasta!!

Sebulan saya menjalani puasa. Ada kabar baik disana, setelah seminggu lebaran, saya pun akhirnya diterima menjadi calon mahasiswa Sastra Indonesia di Unsoed. Saya bahagia, orangtua saya bahagia. Seolah tangisan dan kesedihan yang lalu sudah terbayarkan dengan diterimanya saya di Unsoed. Kebetulan banyak teman dan saudara saya yang kuliah disana, jadi saya tak merasa sendiri.

Setelah mudik dan saya kembali pulang ke rumah, akhirnya saya langsung sibuk mengurus banyaknya berkas-berkas untuk keperluan masuk Unsoed. Dan karena waktu yang mepet, tiga hari kemudian saya harus langsung berangkat ke purwokerto, saya ditemani ayah pun mencari tiket. Namun aneh, ketika ingin mencari agen bus menuju purwokerto, tidak ada yang melayani keberangkatan kesana, sekalipun ada, agen bus itu tutup dan sulit dihubungi, tapi saya yakin pasti ada cara lain. Tidak hanya tiket bus, untuk mendapatkan surat keterangan bebas narkoba pun saya harus menunggu esok hari.

Sore hari, saya mendapat sebuah telepon. Rupanya pihak Poltekkes jakarta kembali meminta saya untuk masuk Poltekkes. Jantung saya langsung berdegub sangat kencang. Inikah rencanaMu, Ya Allah.. dalam sholat maghrib, saya menangis di hadapan Allah, malu padaNya yang memberikan banyak pilihan kebahagiaan, sementara saya selalu menumpuk pasir-pasir dosa.

Setelah berembug dan meminta saran keluarga besar saya di jawa untuk memberi masukan, mereka semua setuju saya masuk Poltekkes. Sementara hati saya masih bimbang. Sejujurnya Poltekkes ataupun Unsoed, sama-sama memiliki daya tarik bagi saya. Memiliki sesuatu yang memikat saya, namun, jika dibandingkan memang lebih baik di Poltekkes. Setelah memutuskan untuk memilih Poltekkes, meski bayaran yang sangat fantastis mencapai 15juta, saya mendengus nafas kecewa. Saya kembali mempertanyakan perihal keputusan itu. jika memang memberatkan, lebih baik saya di unsoed, toh keduanya sama-sama negeri, seperti yang kedua orangtua saya harapkan.

Inilah takdir Allah yang membuat saya takjub. Sungguh luar biasa! Saya diputar-putar, hati saya diacak-acak dulu, tangis saya terus mengalir dulu, tapi mungkin inilah puncaknya. Saya yang berkali-kali gagal, kini justru mendapat pilihan keberhasilan menatap masa depan. Suhanallah!! Subhanallah! Aku sangat sayang padaMu, Rabbi... terimakasih atas segala garis takdirMu, ata segala rencanaMu, kini aku bisa menjadi lebih dewasa lagi... dengan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, aku melangkah menentukan pilihan semoga Engkau selalu meridhoi langkahku dan memberiku kekuatan menjalaninya..



Powered by Blogger.