Setiap insan manusia tentunya
menginginkan anaknya menjadi sukses, atau anak yang mengingnkan masa depan
gemilang. Ya, sama seperti saya yang berharap memiliki masa depan di sebuah
universitas negeri. Langkah saya berawal dari keikutsertaan saya dalam SNMPTN (jalur
undangan) sistem penilaiannya menggunakan nilai rapot sekolah. Dengan mendaftar
di UPI Bandung dan UNS Surakarta jurusan Biologi dan Sastra Indonesia, saya
menaruh harapan agar bisa diterima disana.
Hari demi hari terlewati. Pengumuman
pun tiba, tapi ada tangis disana. Saya GAGAL. Sementara teman karib saya yang
juga mendaftar di UIN, dia lolos seleksi. Tangis saya pecah, namun orangtua
menghibur dan meyakinkan jika itu memang bukan rezeki saya. Akhirnya saya pun
bangkit dan mengikuti lagi tes namun bukan ke universitas, melainkan lembaga
kesehatan yakni Poltekkes Jakarta 3, dengan jurusan kebidanan. Saya belajar
semampu saya, berusaha dan mempelajari soal-soal yang terdahulu. Saya pun
sempat optimis, karena sedikit mudah dalam mengerjakan soal. Namun, berdoa pada
Sang Pencipta pun saya lakukan demi lancarnya segala langkah yang saya lakukan.
Di sisi lain, sambil menunggu
pengumuman dari Poltekkes Jakarta 3, saya mengikuti ujian tulis SBMPTN yang
diadakan serentak di Indonesia. Namun, karena tidak ingin gagal lagi, saya
memutuskan untuk berpindah jurusan. Sastra Indonesia menjadi tujuan saya. Dengan
susah payah saya belajar dari awal tentang materi pelajaran IPS. Karena ternyata
Satra itu masuk ke bagian SosHum (sosial & humaniora) pesaing yang tidak
sedikit membuat saya harus berjuang melawan mereka semua. Meski ada rasa
pesimis di hati karena IPS bukanlah jurusan saya. Setiap tahajud saya panjatkan
doa bahkan tangis pun pecah di setiap kali saya mengingat kegagalan yang saya
lakukan.
“Ya Allah, ampuni hambaMu ini yang selalu banyak meminta.
Hamba hanyalah manusia yang ingin mendapat ridhoMu, Ya Allah. Ridhoilah setiap
langkahku. Aku mohon!! Jabahlah permohonanku... harapanku saat ini hanyalah
ingin membahagiakan orangtua, Ya Allah. Hanya itu. aku mohon, permudahlah aku
dalam menjalani segala usahaku untuk bisa kuliah di perguruan tinggi negeri..”
Hari ujian pun tiba. Saya dan beserta ratusan ribu anak
manusia lainnya mengikuti ujian tertulis selama dua hari. Sistem soal serta
pelajaran yanh kurang saya kuasai memberi pertanda akan adanya lagi kegagalan
dalam langkah saya ini, pikiran buruk itu menyertai saya. Namun, saya teringat
akan perkataan sahabat saya “ujian tulis kayak begitu mah main hoki, siapapun
bisa beruntung”. Saya pun menaruh sekecil harapan adanya keberuntungan
menyertai saya dalam ujian SBMPTN itu, hanya 20%, sisanya? Saya pasrah akan
hasilnya. Karena memang IPS bukan keahlian saya, bahkan menyentuh materi IPS
pun tak pernah. Saya terus terus dan terus berdoa semoga Allah selalu memberi
saya kekuatan dan keikhlasan dalam menghadapi ini semua. Saya pun menyadari
jika gagalnya saya ini melibatkan otak saya yang mungkin pas-pasan, meski
selama sekolah 12 tahun, rangking 3 sampai 2 besar selalu saya raih tapi itu
BUKAN JAMINAN.
Suatu malam saya bermimpi. Saya sangat bahagia
sekali ketika mendapati bahwa nama saya terdaftar sebagai calon mahasiswi di
Poltekkes Jakarta 3. Hati saya gembira berbuncah-buncah dan melompat
kegirangan. Pagi pun tiba, mimpi saya itu menjadi nyata. Saya memang lolos
seleksi ujian tulis di Poltekkes. Ibu saya sempat berkata jika beliau pun memimpikan
saya diterima disana. Namun, perasaan gembira itu tidak berlangsung lama, saya
membaca jika setelah lulus uji tulis, saya harus mengikuti uji kesehatan (teskes)
dan peraturannya adalah jika saya tidak lolos teskes, itu artinya saya pun
gugur dan batal masuk Poltekkes. Awalnya saya langsung pesimis, namun, Ibu saya
memang hebat, beliau memberi support pada saya untu semangat melalui teskes
itu. Ibu saya pun menyuruh saya untuk
minum air kelapa hijau dan susu putih untuk membersihkan paru-paru saya. Sebenarnya
saya tidak memiliki penyakit paru-paru atau keluhan apapun, hanya sebagai
jaga-jaga saja untuk kembali menyehatkan tubuh saya.
Setelah pengumuman Poltekkes
yang menyenangkan sekaligus menyedihkan itu, saya mendapat kabar buruk. Saya kembali
gagal lolos seleksi ujian SBMPTN. Saya mendesah nafas kecewa dan kembali sujud
berhadapan dengan Allah, menangis, memohon, meminta kekuatan untuk menerima
semuanya.
Hari demi hari telah berlalu. Waktu
pun cepat berlalu. Saya sudah mengikuti teskes dan tinggal berdebar menunggu
hasilnya... dan lagi-lagi kekecewaan yang saya dapatkan. SAYA GAGAL LAGI! Untuk
yang kesekian kalinya. Saya amat malu pada orangtua karena mengecewakan mereka.
Bahkan saya merasa berdosa pada mereka. Sudah tak terhitung berapa jumlah
nominal yang harus dikeluarkan untuk mengikuti segaalaaa tes masuk. Mungkin sekitar
satu juta atau bahkan lebih.. “Ya Allah.. sebodoh inikah aku?? Aku benar-benar
sangat kecewa dan terpukul.. bukan aku bermaksud tidak mensyukuri, tapi aku
merasa tidak ada artinya dibandingkan mereka yang lebih pandai dariku..”
Ini membuat diriku seolah
ditampar berkali-kali. Menyadarkanku dan menginsyafkanku agar tidak sombong dan
untuk selalu rendah hati. Untuk lagi lagi dan lagi, SAYA GAGAL LAGI lolos
seleksi tes kesehatan. Hati saya sakit dan seolah rusak. Saya ingin menangis,
berlari sekencang mungkin dan langsung menghampiri Allah, memohon ampun padaNya
atas segala dosan yang pernah saya perbuat hingga saya dipersulit untuk masuk
kuliah supaya bisa membahagiakan orangtua saya. Sedikit informasi, orangtua saya adalah tipikal orangtua yang memilik
ambisi dan impian. Karena ayah saya lulusan UNJ dulunya, maka saya pun di
dorong agar bisa masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) meski tidak harus UNJ. Satu
hal terakhir yang bisa saya lakukan adalah mengikuti lagi tes ujian mandiri
masuk Universitas Jenderal Sudirman (Unsoed). Saya harus bangkit lagi setelah
berkali-kali terjatuh dan terluka parah. Saya kuatkan kaki saya dan teguhkan
hati untuk kembali melangah menata masa depan yang mungkin masih menanti saya. Dengan
biaya yang sangat mahal, saya mengikuti ujian tulis mandiri Unsoed. Setelah mengikuti
tes, masuknya bulan suci ramadhan membuat saya melupakan segala tangis saya
dulu. Saya benar-benar pasrah akan apapun yang terjadi kelak, sebenarnya saya pun
mengakui mungkin usaha saya belum sempurna dan seutuhnya, maka jika usaha
terakhir saya ini gagal lagi, maka dengan berat hati dan dengan segudang rasa
bersalah, saya harus masuk swasta!!
Sebulan saya menjalani puasa. Ada
kabar baik disana, setelah seminggu lebaran, saya pun akhirnya diterima menjadi
calon mahasiswa Sastra Indonesia di Unsoed. Saya bahagia, orangtua saya
bahagia. Seolah tangisan dan kesedihan yang lalu sudah terbayarkan dengan
diterimanya saya di Unsoed. Kebetulan banyak teman dan saudara saya yang kuliah
disana, jadi saya tak merasa sendiri.
Setelah mudik dan saya kembali
pulang ke rumah, akhirnya saya langsung sibuk mengurus banyaknya berkas-berkas
untuk keperluan masuk Unsoed. Dan karena waktu yang mepet, tiga hari kemudian
saya harus langsung berangkat ke purwokerto, saya ditemani ayah pun mencari
tiket. Namun aneh, ketika ingin mencari agen bus menuju purwokerto, tidak ada
yang melayani keberangkatan kesana, sekalipun ada, agen bus itu tutup dan sulit
dihubungi, tapi saya yakin pasti ada cara lain. Tidak hanya tiket bus, untuk
mendapatkan surat keterangan bebas narkoba pun saya harus menunggu esok hari.
Sore hari, saya mendapat sebuah
telepon. Rupanya pihak Poltekkes jakarta kembali meminta saya untuk masuk
Poltekkes. Jantung saya langsung berdegub sangat kencang. Inikah rencanaMu, Ya
Allah.. dalam sholat maghrib, saya menangis di hadapan Allah, malu padaNya yang
memberikan banyak pilihan kebahagiaan, sementara saya selalu menumpuk
pasir-pasir dosa.
Setelah berembug dan meminta
saran keluarga besar saya di jawa untuk memberi masukan, mereka semua setuju
saya masuk Poltekkes. Sementara hati saya masih bimbang. Sejujurnya Poltekkes
ataupun Unsoed, sama-sama memiliki daya tarik bagi saya. Memiliki sesuatu yang
memikat saya, namun, jika dibandingkan memang lebih baik di Poltekkes. Setelah
memutuskan untuk memilih Poltekkes, meski bayaran yang sangat fantastis
mencapai 15juta, saya mendengus nafas kecewa. Saya kembali mempertanyakan
perihal keputusan itu. jika memang memberatkan, lebih baik saya di unsoed, toh
keduanya sama-sama negeri, seperti yang kedua orangtua saya harapkan.
Inilah takdir Allah yang
membuat saya takjub. Sungguh luar biasa! Saya diputar-putar, hati saya
diacak-acak dulu, tangis saya terus mengalir dulu, tapi mungkin inilah
puncaknya. Saya yang berkali-kali gagal, kini justru mendapat pilihan
keberhasilan menatap masa depan. Suhanallah!! Subhanallah! Aku sangat sayang
padaMu, Rabbi... terimakasih atas segala garis takdirMu, ata segala rencanaMu,
kini aku bisa menjadi lebih dewasa lagi... dengan mengucap Bismillahirrahmanirrahim,
aku melangkah menentukan pilihan semoga Engkau selalu meridhoi langkahku dan
memberiku kekuatan menjalaninya..